Kamis, 24 September 2009

Ini karyaku,,,,,

Hmm... kemarin saya baru saja mengirimkan cerpen ni ke MP. Dimuat gak ya??????????

Batas hidup


Saat kesadaran membukakan mataku, baru kuketahui kalau kini aku tak berada di rumah lagi. Alih-alih kawasan kumuh penuh sampah—yang kotor namun kucintai—aku malah berada di sebuah ruangan putih besar dengan banyak rak penuh berisi botol cairan warna-warni. Aku terkurung di salah satu sudutnya. Aku terpenjara dalam sebuah kotak beralaskan sekam yang berdinding besi-besi terjalin.

Mataku nanar. Teringat olehku kali terakhir saat aku masih bisa membaui udara bebas. Aku sedang berada di rumah, memberi makan anak-anakku. Mereka tiga gadis kecil yang masih sangat rapuh. Aku tak hidup dalam koloni sebagaimana umumnya yang terjadi pada sukuku. Aku hidup terpisah. Anak-anakku tak punya siapa-siapa lagi yang bisa mereka andalkan selain aku. Hatiku mendingin memikirkannya. Mereka tak akan bisa bertahan lama.

Aku berontak. Ingin rasanya kugigiti besi-besi yang menyebalkan ini. Namun gigiku bukanlah tandingan. Kucoba mendobraknya. Tubuhku sakit semua. Bahkan pundak kananku rasanya sobek terkait besi yang tajam tak terjalin. Aku luluh. Hanya bisa menangis.

Setelah sekian lama aku meratapi kemalanganku dan anak-anakku, datang seorang gadis berbaju putih. Ah. Aku benci putih. Rasanya seperti kematian yang terang-terangan. Aku lebih suka dengan kegelapan. Di dalamnya, aku bisa berlindung dan berkamuflase dari dunia luar yang terlalu kejam. Gadis itu memandangku sambil mengenakan sesuatu seperti karet di tangannya. Aku ngeri dengan sorot matanya yang tak jelas. Jantungku berdegub kencang. Firasatku mengatakan kalau kedatangannya ini tak bermaksud baik. Aku mengkeret di pojok ruangan..

Gadis itu tersenyum. Dia mendatangiku, lantas membuka pintu kurungan yang memerangkapku. Tangannya terulur meraihku. Aku mencoba menghindar menjauh. Tapi tak bisa. Aku terlalu bisa dijangkau olehnya. Aku berontak. Tapi pegangannya sekuat piton kelaparan. Erat sekali. Sangat menyesakkan.

Gadis itu membawaku ke sebuah pembaringan yang licin. Aku dibaringkan telentang olehnya. Napasku sudah sangat memburu. Ia mengambil semacam jarum yang sangat besar. Dan selanjutnya, entahlah, aku hampir tak bisa mendengarkan jeritanku sendiri saking sakitnya.

Perlahan setelah benda dingin tajam yang menyemprotkan cairan itu menusukku, kepalaku mulai terasa sangat berat. Lama-kelamaan aku tak bisa merasakan diriku. Aku tak lagi menyadari kehidupan. Mataku menutup dengan sendirinya. Tinggal telingaku saja yang masih bisa menjalankan fungsinya. Tubuhku sudah tak mau kompromi, hanya tergolek pasrah menanti apa yang gadis itu akan lakukan. Aku bisa merasakan melemahnya degub jantungku.

Samar kurasakan gadis itu mengatur posisi badanku. Dan entah bagaimana, kurasakan empat buah cubitan pada semua tangan dan kakiku. Aku mencoba untuk terus bernapas. Apa yang telah dia lakukan? Detik-detik berikutnya, kurasakan gesekan halus yang membujur dari dada sampai ke perutku.

Aku terhanyut oleh ketidaksadaran yang dibawa cairan dalam benda menusuk yang dingin tadi. Hanya sedikit kurasakan gesekan-gesekan kecil di sekujur dada dan perutku. Hingga tiba-tiba kurasakan sakit yang amat sangat. Sakit itu berasal dari jantungku. Getaran yang tadi halus kini telah berubah menjadi degub panik menghadap maut. Spontan saja mataku bisa membuka. Aku menatap ngeri. Dari dadaku yang terbelah kulihat darah memancur tinggi. Barulah kini kucium benar aroma kematian. Gadis tadi menatapku panik. Kutatap dia dengan penuh kemarahan. Namun kemarahanku segera pudar. Karena kehidupanku telah surut menghilang. Kulihat bayangan anak-anakku. Ah, setidaknya kami bisa segera bertemu di kehidupan setelah kematian ini. Semoga.

***

Mata si Den membeliak ngeri tatkala dilihatnya darah mengucur deras dari jantung yang sekian detik lalu masih ia amati frekuensi detaknya. Bulir keringat panik membasahi pelipisnya. Kecerobohanlah yang membuatnya secara tak sengaja menggoreskan mata pisau lancip ke aorta jantung tikus abu-abu yang tergolek pasrah di atas bak lilin.

Dengan gerak cepat, segera ia mengambil kapas putih untuk menghentikan keluarnya darah itu. Berulang kali ia membisikkan kata ‘bodoh’ demi menghadapi sifat cerobohnya yang tak sembuh-sembuh. Padahal morfologi utuh dari tikus got menjijikkan itu amat penting bagi data penelitiannya. Kini ia harus kerja keras, menahan muntah di genangan air bau demi mendapatkan seekor tikus untuk korban percobaannya lagi.

Dari arah pintu, masuk seorang mahasiswi lain yang berpakaian lengkap ala lab. Yunita mendatangi Den yang masih sibuk dengan ‘percobaan penghentian pendarahan yang menjengkelkan’. Yun tersenyum geli melihat salah satu teman seangkatannya itu.

“Gimana, Den?”

Si Den hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tak sabar. “Payah, nih! Bleeding! Masak aku harus susah-susah cari tikus lagi! Sial banget!”

Yun cuma tertawa.

“Ya sudahlah, segala sesuatu memang butuh pengorbanan…”

Si Den mengangkat alisnya. “Pengorbanan untuk menahan muntah di kubangan got? God bless me, Yun… Yun!”

Yunita tertawa sekali lagi. Ditepuknya pundak Den yang terkulai lemah.

At least aku masih bisa minta ginjal dan hatinya kan? Aku pengen aja iseng melihat anatominya. Pasti banyak banget parasit yang hidup damai di sana…”

Den hanya mengangguk. Tersenyum kecil. “Ambillah, aku bosan dengan tikus bau ini. Dan aku harus mencari lagi? Hahaha… beruntung sekali!”

Si Den lantas beranjak pergi. Yunita memandang antusias pada bangkai tikus yang penuh darah itu. Diambilnya binatang itu beserta bak lilin yang mengalasi. Dia membawanya ke sudut lab favoritnya.

“Saatnya bersenang-senang!”

*Selesai*

Bantul, 19 September 2009

Ayo bangkiiitttt!!!!!

Kalo ada masukan atau kritikan dikomen ya???